MENELUSURI MISTERI MUNCULNYA BADAI DALAM KEHIDUPAN DAN UPAYA MEREDAMNYA

MENELUSURI MISTERI MUNCULNYA BADAI DALAM KEHIDUPAN DAN UPAYA MEREDAMNYA.
Oleh : Upa. Satyakumara Ad.

Prakata

Namo Buddhaya,
Para pembaca dan sahabat dalam Dhamma yang tercinta.

Dengan sejujurnya saya katakan, bahwa sebenarnya cukup lama saya merasa ragu dan bimbang,
apakah pengalaman dan buah pikiran saya mengenai Buddha Dhamma yang akan saya tulis ini,
akan membawa manfaat bagi teman-teman se-Dhamma?

Namun setelah saya renungkan lagi dan lagi, mengingat pula usia saya yang sudah cukup senja ini,
serta kapan lagi saya punya kesempatan untuk turut mendukung pembabaran Buddha Dhamma,
serta adanya dukungan dan masukan dari teman-teman,
akhirnya saya mengambil keputusan untuk menulisnya.

Pada kesempatan yang baik ini pula,
tak lupa saya ucapkan anumodana kepada teman-teman yang telah mendukung hingga terlaksananya pencetakan buku ini.

Akhir kata, bilamana ada kata-kata atau hal-hal berkenaan dalam penulisan buku ini yang kurang berkenan di hati teman-teman se- Dhamma,
maka dengan ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.


Surabaya, 12 April 2008
Mettacittena,
Upa. Satyakumara Ad.

(bersambung ke : Daftar Isi............)

Daftar Isi :

1. Kemarahan dan Kebencian
2. Mengamati Kemarahan
3. Hukum Karma dan Tumimbal Lahir
4. Apakah Nasib itu dan Dapatkah Nasib Dirubah?
5. Pembabaran Singkat Padat dari Sang Buddha
6. Anicca dan Anatta
7. Target yang Menjadi Tujuan Umat Buddha

(bersambung ke : Kemarahan dan Kebencian...............)

1. KEMARAHAN DAN KEBENCIAN

Pada umumnya, kita sudah menjadi pelanggan tetap dari sifat marah dan benci ini.
Padahal terkadang kita menyadari bahwa akibat terbawa/terseret oleh amarah dan kebencian ini,
Kita semakin menjauh dari ketenangan yang kita dambakan.

Adapun salah satu sebabnya adalah, tanpa kita sadari sejak kecil kita sudah mendapat pendidikan yang keliru,
Terutama dari lingkungan sekitar kita, antara lain :

Kalau kita dimaki-maki dihadapan orang banyak tanpa sebab apapun, maka sesuai “kebiasaan” orang banyak,
kita tidak boleh tinggal diam dan harus melawan, entah balas memaki, entah sekalian baku hantam,
karena kalau tidak demikian maka kita akan dianggap pengecut.

Demikian juga bila kita difitnah di depan orang banyak, sesuai kebiasaan umum kita tidak boleh tinggal diam saja,
kita akan mendamprat orang yg memfitnah kita itu (padahal bisa saja karena salah paham),
sehingga akhirnya terjadi pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu dan bahkan bisa berbuntut perkelahian dan permusuhan yang berkepanjangan.

Akibat yang sering timbul bila kita membiarkan diri kita diseret oleh kemarahan, antara lain :

- Teman2 menjauhi kita.
- Jarang ada yang mau berteman dengan kita
- Jarang diajak bertukar pikiran
- Tidak begitu dihiraukan oleh orang2 di sekitar kita, dll.

Memang penderitaan yang diakibatkan oleh kemarahan terkadang tidak terlalu parah, melainkan menyajikan ketidak-tenangan belaka.
Namun bilamana kemarahan itu sudah disusupi/dimuati pula oleh kebencian,
maka “hidangan batin yang akan tersaji” adalah merupakan penderitaan yang cukup berat.
Maka dapat dikatakan bahwa kemarahan berada di level 1 (1 digit) dan kebencian berada di level 2 (2 digit).

Dalam suatu kelompok diskusi pernah ada yang menanyakan : Apakah lebih mudah mengurangi “kemarahan” atau “kebencian”?.
Kebanyakan dari mereka mengatakan : Lebih mudah mengurangi kemarahan (yang 1 digit), daripada mengurangi kebencian (yang 2 digit).

Sepintas lalu memang demikian jawabannya. Namun cobalah kita merenungkan hal tersebut dengan lebih seksama.
Kemarahan memang dapat menyeret kita disetiap waktu, dan penyebabnya kebanyakan adalah sesuatu yang tidak kita duga sebelumnya,
apalagi bila kondisi kita sedang dalam masalah.

Ibarat sebuah pohan beringin yang sangat lebat daunnya, setiap waktu ada saja daunnya yang rontoh ditiup oleh angin,
Entah yang di atas, di bawah, di utara, di selatan, timur maupun di barat.
Hal semacam itulah yang membuat kita sering lengah dan tidak siaga, sehingga dengan mudah terseret olehnya (kemarahan).

Tetapi tidak demikian dengan kebencian.
Kebencian adalah akumulasi kemarahan terhadap seseorang, yang kita simpan/tumpuk di dalam hati dan pikiran kita,
Yang kalau dibiarkan akan terbentuk menjadi “api dendam” yang dahsyat.

Pernah ada pertanyaan yang berbunyi begini : Api apakah yang terpanas di alam semesta ini?
Yang ditanya kebanyakan menjadi ragu2 dan bingung. Ternyata jawabannya adalah “api kebencian”.

Bila dilihat dari sejarah, demikian banyak korban yang meninggal akibat Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Vietnam dan lainnya.
Demikian pula perang saudara, antar suku, antar kelompok/geng dan sebagainya.

Dengan perenungan yang dalam, seyogyanya kita dapat mengerti/memahami hal2 yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha :

Kebencian tidak pernah berakhir bilamana dibalas dengan kebencian.
Kebencian hanya akan berakhir bilamana dibalas dengan tidak membenci.
Inilah suatu hukum abadi.
(Dhammapada 5).

Akar dari penderitaan kita antara lain adalah keserakahan, kebencian, dan pandangan-pandangan yang keliru.

Karena baru berada di level 1 (1 digit), maka kemarahan belum digolongkan sebagai akar penderitaan,
tidak demikian dengan kebencian yang berada di level 2 (2 digit),
karena kebencian yg “membara” bisa berubah menjadi “api dendam” yang terkadang menimbulkan niat membunuh orang yang dibenci.

Maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa menyimpan kebencian adalah sama dengan menyimpan “racun” yang sangat berbahaya di dalam diri kita.
Dan sesungguhnya kebencian yang tersimpan didalam diri kita ini, dapat kita ketahui/sadari sendiri keberadaannya.

Jadi kalau kita mau merenungkan dengan mendalam,
dapat mengerti/memahami bahwa akibat menyimpan kebencian hanyalah membawa penderitaan dan tiada setitik pun kebahagiaan yang sejati,
kecuali kepuasan sang Amarah.
Maka, mengapa kebencian itu tidak kita buang atau lenyapkan saja dari pikiran/perasaan kita?.
Bukankah dengan demikian akan menghadirkan ketenangan dan kedamaian?

Dengan pengertian yang benar (yang pertama dari Jalan Tengah berunsur Delapan),
Maka kebencian terhadap seseorang lebih mudah dikurangi/dihapus dari pada mengurangi/menghapus sifat kemarahan yang tiada menentu keberadaannya.

Tentu saja untuk melenyapkan kedua sifat itu secara total, Meditasi Vipasana adalah jalan keluar yang paling akurat.
Dengan pengertian benar yang dimaksud, memang bukan berarti kita sudah terbebas secara maksimal dari kebencian,
namun paling tidak kebencian kita terhadap seseorang dapat dihentikan.

Sehingga kalau sebelumnya “bola api kebencian” itu begitu besar, dengan pengertian yang benar tersebut,
maka bola api kebencian itu dapat mereda, menjadi titik-titik api kecil,
yang selanjutnya dapat dipadamkan sama sekali dengan berlatih Meditasi Vipasana secara tekun,
dibawah pengawasan seorang pakar yang benar-benar menguasai Meditasi Vipasana tersebut.

(bersambung ke : Mengamati Kemarahan………………………………)

2. MENGAMATI KEMARAHAN

Setelah berhasil menghentikan kebencian, maka tiba saatnya bagi kita untuk mulai mengamati dan menganalisa,
siapakah sebenarnya “Sang Pemarah” yang bermukim/bersembunyi di dalam diri kita ini?

Mari kita menyimak apa yang disampaikan oleh seorang rohaniawan yang sangat terkenal di India maupun di dunia Barat, yaitu : Y.M. Krishnamurti.
Dalam usianya yang baru 12 tahun (pada tahun 1910) Beliau sudah dapat menyampakan sedikit gambaran tentang kita sebagai manusia ini.

Secara sederhana beliau mengatakan bahwa kita yang disebut manusia ini, secara rohani dapat dikatakan mempunyai 3 jenis badan, yaitu :

1. Badan Jasmani atau Fisik.
2. Badan Perasaan, dan
3. Badan Pikiran.

Ketiga badan ini mempunyai kegemaran yang berbeda :

1. Badan Jasmani, senang sekali bermalas-malasan dan senang sekali pada makanan yang enak , dan lain-lain, contohnya :
a. Orang yang malas bekerja, yang lebih memilih menjadi peminta-minta.
b. Orang yang terkena penyakit akut, karena tidak bisa menghindari makanan enak yang menjadi pantangan bagi kesehatannya.


2. Badan Perasaan, senang sekali dengan getaran-getaran hebat, cepat marah, mudah tersinggung, cepat cemburu, membenci dan lain-lainnya, contohnya adalah :
a. Cukup banyak orang yang suka melampiaskan kemarahannya kadang hanya oleh sebab yang sepele,
sehingga akibatnya timbullah kegelisahan, kebencian, permusuhan dan lainnya.
b. Kecemburuan dan buruk sangka pun sering terjadi, yang akibatnya tidak membawa kedamaian dan ketenangan,
melainkan menimbulkan kegelisahan dan penderitaan. Misalnya karena salah paham, seseorang memaki kita ditengah orang banyak.

Hal ini tentu saja memancing keributan yang tidak diinginkan.
Tetapi kalau kita bisa mengendalikan badan perasaan kita, dengan tenang kita menjelaskan hal yang sebenarnya,
hingga terhindarlah kita dari kericuhan yang dimaksud.
Dapat dikatakan, orang yang memaki kita tadi, sebenarnya telah kalah perang dengan dirinya sendiri,
lalu apa manfaatnya kalau kita menirunya?.

3. Adapun Badan Pikiran, kalau berdebat selalu ingin menang sendiri, merasa lebih pandai dari orang lain,
sering mengukur orang lain yang tampak dibagian luar saja dan lain-lainnya

Ketiga badan ini, walaupun mempunyai kegemaran sendiri-sendiri, sebenarnya tidak ada niat buruk kepada kita.
Oleh karenanya agar kita tidak terjebak oleh kegemaran badan-badan ini, maka diperlukan usaha untuk mengendalikan atau menyeleksinya,
sebelum badan-badan ini bereaksi atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan.

Kalau kita amati dengan seksama kita akan menemukan, bahwa kehidupan ini adalah merupakan peperangan yang berkepanjangan,
(kecuali kita sudah dapat memenangkannya secara total), yaitu : perang di dalam diri kita sendiri terhadap musuh-musuh kita,
yang sering muncul tiba-tiba dari persembunyiannya di dalam diri kita.


“Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran,
namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri!”
(Dhammapada 103)

Dalam perang modern, tiap-tiap Negara membangun “radar” untuk mendeteksi kedatangan musuh yang akan menyerang.
Semakin canggih radar yang bisa dibangun, semakin kuat pula pertahanan yang kita buat, sehingga serangan musuh dapat dipatahkan/diatasi.

Demikian pula dengan kita dalam kehidupan ini, kita perlu membangun “radar” di dalam diri kita untuk mengontrol musuh-musuh yang ada di dalam diri kita ini.

Dengan sering merenungkan/menyadari keberadaan musuh-musuh ini, maka berarti kita semakin memperkuat “radar” di dalam diri kita.

Memang untuk bisa mengontrol atau meredam musuh-musuh ini, Meditasi Vipasana adalah yang terbaik.
Tetapi berapa banyakkah di antara kita yang berumah tangga ini yang punya kesempatan untuk mengikuti latihan/melaksanakan Meditasi Vipasana tersebut?
apalagi untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi “sering merenungkan” tentang kehidupan ini dan terus memperdalam pengertian kita akan Dhamma yang diwariskan Sang Buddha,
adalah merupakan hal yang cukup baik.


(bersambung ke : Hukum Karma dan Tumimbal Lahir...........)

3. HUKUM KARMA DAN TUMIMBAL LAHIR


Sebagai pendahuluan saya ingin mengajak teman-teman se-Dhamma mengikuti cerita tentang perjalanan saya pada tahun 1993.
Saat itu saya bertugas membenahi akuntansi di kantor cabang Ujung Pandang, dari perusahaan dagang sejenis Distributor tempat saya bekerja.
Setibanya di kantor (yg jg merupakan rumah tinggal), saya sempat berbincang-bincang dengan Pimpinan kantor cabang tentang hobi kami dibidang olahraga, kemudian sempat saya singgung juga tentang Dhamma ajaran Sang Buddha.

Tiba-tiba istrinya memotong pembicaraan saya, lalu menceritakan tentang kekeliruan anggapan dari pegawainya yang menjabat sebagai Kasir.
Di kantor cabang tersebut, mereka dibantu tiga orang pegawai perempuan yang semuanya kebetulan non Buddhis.

Rupanya si Kasir itu berkali-kali mengatakan, bahwa agama Buddha itu menyembah banyak Dewa alias Berhala,
sehingga telinganya cukup panas juga katanya, namun karena dia tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya maka ia memilih diam saja.

Jadi dia minta tolong kepada saya untuk memberikan penjelasan tentang kekeliruan anggapan tersebut.
Lalu saya menjawab bahwa saya akan berusaha, tetapi saya tidak berani berjanji untuk dapat memenuhi permintaan tersebut.
Karena kalau berbicara tentang agama dengan umat yang berbeda agama, apalagi tentang kesalah-pahaman adalah sangat sensitive sekali.

Pada malam harinya saya mencoba merenungkan bagamana cara membahasnya tanpa menimbulkan pertentangan.
Mendadak saya teringat, dua hari sebelum saya berangkat ke Ujung Pandang saya membaca di surat kabar,
dimana disinggung tentang Sodom dan Gomora yang pernah saya dengar sedikit ceritanya.

Lalu timbullah sebuah inspirasi untuk membuka pembicaraan dengan tiga orang karyawati tersebut.

Keesokan harinya, setelah memberikan pengarahan sehubungan dengan pekerjaan/tugas mereka,
maka pada saat istirahat siang saya ajak mereka bertiga berbincang-bincang sedikit dengan menggunakan logika, antara lain :

1. Ada seorang Hakim yg menjatuhkan hukuman penjara pada seorang terdakwa yg telah terbukti melakukan perampokan bersenjata.
Lalu saya tanyakan kepada mereka, berperan sebagai apakah Hakim itu dalam perkara tersebut?.
Apakah Hakim itu bertugas sebagai pembuat Hukum ataukah hanya melaksanakan tugas dibidang Hukum?.

Jawaban mereka benar, bahwa itu hanya melaksanakan tugas saja.


2. Ada seorang ibu yg marah besar kepada anak perempuannya, kemudian mengusir anak perempuan itu keluar dari rumahnya.
Karena ternyata anak perempuannya itu hamil diluar nikah dan pemuda yang menghamilinya menghilang entah kemana
alias tidak mau bertanggung jawab.
Kemudian saya tanyakan kepada mereka apakah si Ibu tadi berperan sama seperti Hakim tadi ataukah
sebagai pembuat hukum sekaligus melaksanakan hukum tersebut?.

Jawaban mereka benar, yaitu bahwa si Ibu adalah sebagai pembuat hukum sekaligus pelaksana hukum atas hukum yang dibuatnya sendiri.

3. Lalu saya katakan kepada mereka bahwa saya membaca di suat kabar pada dua hari yang lalu, tentang Sodom dan Gomora.
Yang saya tanyakan kepada mereka : apa benar yang dimaksud dalam cerita itu bahwa Tuhan menjadi murka
dan menghukum penduduk kota itu karena banyak yang melakukan perbuatan maksiat?.

Dan jawaban mereka adalah benar.


Nah, dari sinilah saya baru mengatakan adanya perbedaan perpespi mengenai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Lalu saya katakana kepada mereka bahwa menurut agama Buddha, Tuhan tidak pernah murka apalagi menghukum umatnya.
Apa yang sebenarnya terjadi adalah berprosesnya sebuah hukum yg sangat sempurna, Hukum Tuhan yang Adil dan Bijaksana,
yang dalam Agama Buddha disebut : Hukum Karma atau Hukum Sebab Akibat yang saling bergantungan.


Kemudian saya berikan beberapa contoh :

** Ada satu rombongan Transmigran yang diarahkan / dibiayai pemerintah untuk memulai penghidupan yang baru sebagai petani,
di suatu tempat yaitu daerah pertanian.
Mereka semua diberi fasilitas yang sama yaitu antara lain :

a. Sebidang tanah pertanian, katakanlah seluas dua hektar.
Dibekali biaya hidup selama tujuh bulan misalnya, yaitu dua bulan mempersiapkan lahan sawah dan
lima bulan masa menanam padi hingga panen, ditambah uang untuk membeli bibit unggul dan pupuk.

b. Mereka diarahkan/ditatar sesuai ilmu pertanian muthakir :
- Menggunakan bibit unggul sebanyak sekian kg,
- Menggunakan pupuk terbaik guna melimpahnya hasil tanaman padi tersebut.
- Membeli bibit unggul dan pupuk tersebut di KUD setempat.

Namun diantara sekian banyak petani (transmigrasi) tersebut, ada saja yang tidak begitu memperhatikan penjelasan yang diberikan pihak penatar.
Katakanlah seorang diantaranya bernama : Udin.

Rupanya dulu waktu masih tinggal dikota Udin ini tidak punya pekerjaan tetap, tetapi punya kebiasaan buruk yaitu suka meminum-minuman keras.
Di pemukiman transmigrasi yang baru ini, seminggu sekali Udin bersama temannya pergi ke desa terdekat untuk membeli beras dan
keperluan dapur lainnya.

Pada suatu hari, setelah berkali-kali Udin berusaha bertahan untuk tidak membeli minuman keras yang memang ada dijual ditoko tempat ia membeli beras,
akhirnya dia tidak kuat lagi membendung ketagihannya.
Maka dipergunakannyalah sebagian uang yang nantinya untuk membeli bibit unggul dan pupuk. Dan hal itu terjadi berulang-ulang.
Maka pada saat pembelian bibit unggul dan pupuk tiba (karena sudah memasuki musim tanam),
Udin terpaksa hanya bisa membeli bibit yang biasa dan pupuk pun tidak mencukupi.

Lima bulan kemudian terlihatlah hal yang menyolok setelah mereka selesai panen.
Kalau para petani lainnya rata-rata memperoleh hasil panen sekitar 4 ton gabah, tidak demikian dengan Udin,
dia hanya memperoleh sekitar 1 ton saja.

Nah, pertanyaannya adalah : apakah memang nasib Udin sudah ditakdirkan demikian atau bagaimana?

Dengan mudah mereka menjawab : Bukan demikian!
Yang benar adalah Udin meremehkan alias tidak mau mengikuti ilmu pengetahuan atau hukum pertanian yang sudah dijelaskan.

** Di suatu Desa, di sepanjang sungai yang cukup lebar bermukimlah beberapa ratus penduduk desa.
Mereka tinggal di sana sejak beberapa generasi sebelumnya.

Pada suatu ketika berdirilah sebuah Pabrik Kimia tidak terlalu jauh dihulu sungai tersebut.
Selang satu tahun kemudian datanglah satu tim dari Dinas Kesehatan untuk menguji apakah air sungai tersebut tercemar atau tidak.
Ternyata hasil dari penelitian / pengujian Laboatorium, air sungai tersebut sudah tercemar,
hingga tidak boleh lagi dikonsumi untuk air minum ataupun untuk memasak.

Maka melalui Pak Lurah serta tim dari Dinas Kesehatan, diumumkanlah kepada penduduk tentang larangan mengkonsumsi air sungai tersebut.
Namun diantara sekian banyak penduduk, ada saja yang pemikirannya masih terbelakang/sempit.
Malah ada yang mengatakan kakek / nenek saya mengkonsumsi air sungai ini hingga usia 80-an tahun, kok tidak apa-apa?

Alhasil, beberapa diantara mereka tidak mau mengindahkan peringatan tersebut dan tetap saja mengkonsumsi seperti biasa.
Namun, berselang satu tahun kemudian barulah mereka menyesal, karena ternyata mereka telah mengidap penyakit yg cukup parah.
Nah, pertanyaannya adalah : apakah mereka yang mengidap penyakit tsb dikarenakan memang sudah takdir mereka atau ada sebab lainnya?.

Dan ketiga karyawati tersebut menjawab dengan benar,
bahwa penduduk yang terserang penyakit itu dikarenakan mereka tidak mengindahkan peringatan dari tim Dinas Kesehatan.

Jadi, dari kedua contoh tersebut barulah saya jelaskan kepada mereka bahwa menurut agama Buddha,
Tuhan tidak pernah murka apalagi menghukum umatNya.

Dan anggapan bahwa umat Buddha itu menyembah Berhala adalah keliru.


Akhirnya yang menjadi Kasir itu berkata : Kalau Tuhan dikatakan bisa murka dan bersifat menghukum,
rada kejam juga ya?

Kalau kita perhatikan dengan seksama keadaan sekeliling kita ditambah berita-berita di surat kabar maupun di Televisi,
maka akan nampak, betapa beragam keadaan para bayi yang baru lahir maupun pada saat dewasa , antara lain :

a. Ada yang terlahir dalam keluarga kaya raya.
b. Ada yang terlahir dalam keluarga yang sangat miskin.
c. Ada yang terlahir dalam keadaan sehat wal’afiat.
d. Ada yang terlahir dalam keadaan cacat yang beragam pula.
e. Ada yang terlahir dalam keadaan cantik atau tampan.
f. Ada yang terlahir dalam keadaan buruk rupa
g. Dan seterusnya

Secara umum keadaan yang beragam tersebut cukup sulit untuk diketahui penyebabnya,
dan dalam hati kecil seperti ada yang kurang adil pada keadaan yang beragam tersebut.

Namun bilamana kita mau berpaling dan merenungkan Dhamma yang dibabarkan Sang Buddha
maka akan terjawablah hal apa yang menjadi penyebab dari keadaan yang beragam tersebut,
yang tiada lain adalah berprosesnya dengan sempurna apa yang disebut Hukum Karma

Dan keadaan yang beragam tersebut berhubungan erat sekali dengan semua perbuatan kita di masa lampau.

“Masa Lampau” disini mengandung arti yang sedikit berbeda, yaitu :

- Bagi bayi-bayi yang baru lahir, maka masa lampaunya adalah masa pada kehidupannya yang lampau.
- Sedangkan bagi yang bukan bayi, maka masa lampaunya adalah masa pada kehidupannya yang lampau ditambah
masa sejak dia lahir hingga sekarang.

Sehubungan dengan Hukum Karma dan Tumimbal Lahir ini pulalah Sang Buddha pernah mengatakan bahwa :
semua makhluk adalah pewaris satu-satunya dari semua perbuatannya sendiri, yang baik maupun yang buruk.

“Semua makhluk
Memiliki karmanya sendiri
Mewarisi karmanya sendiri
Lahir dari karmanya sendiri
Berhubungan dengan karmanya sendiri
Terlindung oleh karmanya sendiri
Apapun karma yang diperbuatnya, baik atau buruk
Itulah yang akan diwarisinya”

(Paritta Suci hal.37 – Brahmaviharapharana – Upekkha)

Jadi kebahagiaan bukanlah hadiah dari manapun, melainkan merupakan “buah yang telah masak” dari perbuatan baik kita dimasa lampau.

Demikian pula dengan penderitaan. Penderitaan bukanlah hukuman dari manapun, melainkan adalah “buah yang telah masak”
yang kita warisi sendiri dari perbuatan kita yang buruk dimasa lampau.


Albert Einstein pernah membuat penyataan : “Kalau ada agama yang berpandangan searah dan bahkan mendukung Ilmu Pengetahuan,
maka agama itu adalah : Agama Buddha. Agama Buddha adalah Agama Alam Semesta”

Dan saya sendiri berpendapat bahwa ternyata Ilmu Pengetahuan juga turut mendukung/membantu pembabaran Buddha Dhamma.

Hal ini akan terlihat kalau kita mau membahas misalnya tentang “Hukum Karma” atau “Hukum sebab akibat yang saling bergantungan”.

Dulu setengah abad yang lalu, para orang tua kalau menasehati anaknya selalu mengatakan demikian :

“Kita jangan sampai melakukan perbuatan jahat atau membuat orang lain menderita,
karena Tuhan akan menghukum orang jahat, karena Tuhan punya mata dan telinga dimana-mana”

Saat itu, orang tua umumnya punya anak delapan sampai sepuluh orang.
Yang enam orang mungkin tidak nakal / penurut, sehingga nasehat tersebut dapat dipatuhi dengan baik.
Tetapi yang dua orang atau lebih biasanya nakal dan mereka tentu saja tidak percaya bahwa Tuhan punya mata dan telinga dimana-mana.
Jadi mereka tidak takut berbuat nakal / jahat.


Contoh nyata adalah : penjahat / para koruptor yang pendidikannya cukup tinggi bahkan ada yang professor.
Mereka ini termasuk orang yang tidak percaya bahwa Tuhan punya mata dan telinga dimana-mana.

Memang, kata-kata “Tuhan punya mata dan telinga dimana-mana” itu hanyalah kiasan belaka.
Yang benar adalah : kata-kata tersebut mempunyai hubungan erat sekali dengan hukum Tuhan yang Adil dan Bijaksana, yaitu : Hukum Karma.

Dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan yang demikian pesat, maka kata-kata kiasan tersebut, sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai berikut :

a. Kaset lagu, hanya pita tipis yang dibuat orang tapi bisa merekam lagu dengan sangat baik.
b. Kaset video, malah bisa merekam suara dan gambar berwarna dengan baik sekali.
c. Komputer, bisa merekam/menyimpan data dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya.

Dari hal-hal tersebut diatas, maka kalau kita mau merenungkannya dengan seksama,
maka kita-kita (manusia) ini dapat di ibaratkan sebagai sebuah computer yang paling sempurna.

Jadi , sebenarnya semua perbuatan kita yang baik maupun yang buruk secara otomatis terekam/direkam oleh kita sendiri sebagai computer.
Hal itulah yang dimaksud orang-orang tua dahulu dengan kata-kata kiasan tersebut.

Dengan adanya data-data yang ada dalam diri kita itulah (seperti halnya data-data dalam computer biasa),
maka Hukum Tuhan Yang Adil dan Bijaksana itu dapat berproses dengan sempurna.

Menurut Sang Buddha, kita yang disebut manusia ini adalah gabungan dari 5 unsur, yaitu :

a. Badan Jasmani (fisik), yang kalau meninggal akan jadi tanah/debu.
b. Perasaan.
c. Pencerapan
d. Pikiran, dan
e. Kesadaran

Kalau kita meninggal, empat unsur (b sampai e) yang biasa disebut batin itu akan terus berproses,
melalui kelahiran kembali, kematian lagi dan seterusnya,
hingga akhirnya bila kita berhasil mencapai kebebasan abadi atau “Nibbana” barulah proses kelahiran kembali itu berakhir.

Maka berbahagialah mereka yang dapat menyelami / memahami proses dari Hukum Karma
karena dengan demikian tidak ada lagi kejahatan yang dapat memancing untuk dilakukan.

Seorang psikiater terkemuka yaitu Dr. Brian Weiss telah mengisahkan pengalamannya yang cukup menggemparkan orang2 Barat, yaitu :
selama 18 bulan dia menangani seorang pasien wanita bernama Catherine.
Ketika dihipnotis Catherine berbicara (dalam keadaan trans) bukan saja tentang masa dewasa mundur ke masa kanak-kanaknya,
tetapi juga bercerita tentang kehidupan lampaunya, bahkan sampai puluhan kehidupan lampaunya.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengalaman Dr. Brian Weiss tersebut,
silahkan teman2 membeli bukunya yang berjudul “Many Lives, Many Masters” (yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia) di toko buku.

Walaupun Dr. Brian Weiss bukan seorang Buddhis dan tidak ada menyinggung tentang Buddha Dhamma,
namun dalam hal ini dia telah membuktikan adanya kehidupan lampau atau “Tumimbal Lahir” yang masih sangat sulit diterima oleh orang banyak.

Dengan demikian terbukti pula bahwa : ada rekaman2 yang sempurna didalam diri kita, yang berada “dalam bawah sadar” kita sendiri.


(bersambung ke : Apakah Nasib itu dan dapatkah nasib itu diubah..........)

4. APAKAH NASIB ITU DAN DAPATKAH NASIB ITU DIUBAH?
Secara umum orang2 berpendapat bahwa nasib dan takdir kita telah ditentukan sehingga kita tidak dapat mengubah nasib kita.
Namun tidak demikian halnya dengan kesunyataan yang telah dibabarkan Sang Buddha,
“Nasib kita berada pada diri kita sendiri dan kita bisa mengubah nasib kita”.

Bahwa kita adalah “Pewaris satu-satunya” dari semua perbuatan kita yang baik maupun buruk.
Hal itu sudah menjelaskan bahwa nasib kita berada dalam diri kita sendiri.
Tinggal diri kita sendiri mau mengubahnya atau tidak.

Bilamana kita mendambakan kebahagiaan, maka satu-satunya cara memperolehnya adalah dengan perbuatan / pikiran yg baik.
Sedangkan bilamana kita melakukan perbuatan/pikiran buruk, maka penderitaanlah yg akan kita alami.

Pada umumnya orang2 berpikir mendambakan kebahagiaan.
Namun sebagian dari mereka malah melakukan perbuatan yg jahat, maka sampai kapanpun “kebahagiaan” itu tidak akan mengunjunginya,
Kecuali masih ada sisa-sisa karma baiknya dimasa lampau yg belum berbuah / masak.

Demikian pula bilamana kita dapat menghindarkan diri kita dari berbuat buruk dan malah banyak berbuat baik,
Maka penderitaan pun tidak akan menghampiri kita, melainkan kebahagiaanlah yang akan datang,
kecuali ada sisa2 karma buruk kita dimasa lampau yg belum berbuah/masak.

Untuk memperoleh bukti bahwa Karma dapat diubah, marilah kita meninjau pengalaman teman saya yg bernama Karmawan berikut ini.