Penyakit ginjal dan kesehatan tulang ternyata berhubungan. Penderita penyakit ginjal bisa mengalami gangguan kesehatan tulang. Bila dibiarkan, bukan mustahil terjadi kekeroposan tulang. Bagaimana hubungannya?
"Terganggunya fungsi ginjal mempengaruhi produksi vitamin D3. Hal itu berdampak pula terhadap proses absorbsi kalsium dari makanan," kata dr Djoko Santoso SpPD K-GH PhD dalam talkshow Hidup Produktif dengan Ginjal Sehat di radio JJFM, Kamis (10/1).
Di sisi lain, 98 persen kalsium tubuh disimpan di dalam tulang. Kalsium bersifat dinamis. Proses pembongkarannya terus menerus terjadi. Karena pembongkaran kalsium di tulang terus terjadi, padahal tingkat absorbsi tidak normal, lambat laun terjadi kekeroposan tulang.
Seiring menurunnya kadar kalsium di tulang, penderita mulai merasa pegal-pegal dan cepat lelah. Pada tahap berikutnya, ia kesakitan bila duduk, terutama di kursi rotan. "Kalau dulu kuat berjalan lama, kini sebentar saja sudah terasa kemeng. Otot kaki dan paha terasa lelah dan sakit," ujar dr Djoko.
Dijelaskannya, ditinjau dari tingkat pembongkaran kalsium, penyakit tulang ginjal terbagi atas tiga tipe. Pertama, tipe high turnover. Pembongkaran kalsium di tulang tinggi sekali. Dalam beberapa tahun tulang akan keropos sehingga mudah patah dan retak. Ibaratnya bambu yang bagian dalamnya kosong. Dokter biasanya akan memberikan kalsium karbonat untuk mengikat fosfat dari makanan.
Tipe kedua adalah low turnover. Ini kebalikan dari tipe pertama. Penderita mengalami pelunakan tulang. Tulang melengkung mengakibatkan penderita bungkuk. Tipe ini kebanyakan diderita oleh masyarakat di negara-negara miskin yang tingkat pemenuhan gizinya rendah. Sedangkan tipe ketiga merupakan tipe campuran.
Di Indonesia, ungkap dokter yang berpraktik di RS Siloam Surabaya itu, 46 persen penderita tulang ginjal termasuk dalam tipe low turnover. Sekitar 40 persen tipe high turnover dan sisanya, 14 persen, tipe campuran.
"Selain karena faktor nutrisi dan adanya faktor-faktor infeksi kronis, komposisi tipe penderita dipengaruhi jam cuci darah yang lebih rendah daripada seharusnya. Misalnya, karena terkendala biaya, penderita yang idealnya cuci darah tiga kali seminggu hanya melakukannya dua kali seminggu," papar dr Djoko. (lee)
"Terganggunya fungsi ginjal mempengaruhi produksi vitamin D3. Hal itu berdampak pula terhadap proses absorbsi kalsium dari makanan," kata dr Djoko Santoso SpPD K-GH PhD dalam talkshow Hidup Produktif dengan Ginjal Sehat di radio JJFM, Kamis (10/1).
Di sisi lain, 98 persen kalsium tubuh disimpan di dalam tulang. Kalsium bersifat dinamis. Proses pembongkarannya terus menerus terjadi. Karena pembongkaran kalsium di tulang terus terjadi, padahal tingkat absorbsi tidak normal, lambat laun terjadi kekeroposan tulang.
Seiring menurunnya kadar kalsium di tulang, penderita mulai merasa pegal-pegal dan cepat lelah. Pada tahap berikutnya, ia kesakitan bila duduk, terutama di kursi rotan. "Kalau dulu kuat berjalan lama, kini sebentar saja sudah terasa kemeng. Otot kaki dan paha terasa lelah dan sakit," ujar dr Djoko.
Dijelaskannya, ditinjau dari tingkat pembongkaran kalsium, penyakit tulang ginjal terbagi atas tiga tipe. Pertama, tipe high turnover. Pembongkaran kalsium di tulang tinggi sekali. Dalam beberapa tahun tulang akan keropos sehingga mudah patah dan retak. Ibaratnya bambu yang bagian dalamnya kosong. Dokter biasanya akan memberikan kalsium karbonat untuk mengikat fosfat dari makanan.
Tipe kedua adalah low turnover. Ini kebalikan dari tipe pertama. Penderita mengalami pelunakan tulang. Tulang melengkung mengakibatkan penderita bungkuk. Tipe ini kebanyakan diderita oleh masyarakat di negara-negara miskin yang tingkat pemenuhan gizinya rendah. Sedangkan tipe ketiga merupakan tipe campuran.
Di Indonesia, ungkap dokter yang berpraktik di RS Siloam Surabaya itu, 46 persen penderita tulang ginjal termasuk dalam tipe low turnover. Sekitar 40 persen tipe high turnover dan sisanya, 14 persen, tipe campuran.
"Selain karena faktor nutrisi dan adanya faktor-faktor infeksi kronis, komposisi tipe penderita dipengaruhi jam cuci darah yang lebih rendah daripada seharusnya. Misalnya, karena terkendala biaya, penderita yang idealnya cuci darah tiga kali seminggu hanya melakukannya dua kali seminggu," papar dr Djoko. (lee)