Telaah tentang Sigalovada Sutta memang sudah sering dilakukan. Sigalovada Sutta sendiri diambil dari Digha Nikaya - bagian dari Sutta Pitaka - yang berisi kumpulan khotbah-khotbah panjang Sang Buddha. Sigalovada Sutta yang merupakan salah satu dari khotbah panjang sang Buddha yang ditujukan kepada seorang pemuda bernama Sigala ini menarik untuk di-�bedah� karena selain sarat dengan tuntunan-tuntunan hidup bermasyarakat, Sutta ini juga kaya akan dimensi yang bisa ditinjau dari banyak segi.
Secara umum, Sigalovada Sutta berisi acuan-acuan untuk hidup sebagai perumah tangga di mana manusia menempati secara sekaligus beberapa posisi fungsional dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Satu individu memiliki multi peran dalam kehidupan sosialnya, tidak ada individu yang hanya memiliki peran tunggal. Contohnya: di satu sisi seseorang bisa menjadi seorang ayah, di sisi lain ia juga seorang anak dari kedua orang tuanya dan majikan/atasan bagi beberapa karyawannya.
Selanjutnya dalam sutta ini Sang Buddha menjelaskan secara terperinci hubungan kewajiban secara timbal balik antar-peran yang harus dilaksanakan sesuai dengan posisi fungsionalnya masing-masing. Uraian Sang Buddha ini secara tegas menunjukkan bahwa ajaran Beliau tidak hanya ditujukan bagi mereka yang mengejar kebebasan sejati dan kebahagiaan spiritual. Beliau juga memperhatikan masalah-masalah duniawi dengan memberikan tuntunan-tuntunan dalam berinteraksi secara sosial agar tercipta kondisi yang harmonis dan damai demi tercapainya kebahagiaan duniawi.
Selain ajaran tentang kehidupan sosial, ada hal lain yang bisa dicermati dalam sutta ini, yaitu metode penyampaian yang digunakan Sang Buddha untuk memberikan pengertian benar kepada Sigala. Melihat tindakan Sigala bangun pagi-pagi, membasahi rambut serta pakaian, lalu beranjali dan menghormat keenam arah dengan dalih melaksanakan pesan terakhir ayahnya, Sang Buddha tidak langsung menyalahkan apalagi mencela perbuatan tersebut. Beliau hanya berkata, �Tetapi, O putra kepala keluarga, dalam agama seorang Ariya enam arah itu tidak seharusnya disembah dengan cara demikian�.
Selanjutnya Beliau memberikan pemaknaan ulang atau me-redefinisi pengertian �enam arah�. �Ibu dan ayah adalah arah timur, dan guru-guru adalah arah selatan; Istri dan anak-anak adalah arah barat, dan sahabat-sahabat serta sanak keluarga adalah arah utara; Para pelayan dan karyawan adalah arah bawah, dan arah atas adalah para pertapa dan brahmana�. Menghormat keenam arah berarti memperlakukan orang-orang tersebut secara layak dengan memenuhi segala kewajiban terhadap mereka. Lebih jauh Guru Agung kita menerangkan kepada Sigala dengan cara bagaimana keenam arah itu harus dilindungi, diselamatkan dan diamankan, atau dengan kata lain �dihormati�.
Seringkali kita terjebak akan ajaran-ajaran agama yang bersifat dogmatis, bersembunyi dibalik keotentikan kitab suci. Seringkali pula �Sabda-sabda Ilahi� dipilah menjadi �perintah� dan �larangan� atau �halal� dan �haram� tanpa disertai perenungan mendalam apalagi pengertian yang benar. Keluhuran nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran agama akhirnya diterjemahkan dalam bentuk kalimat-kalimat perintah berupa, �Jangan lakukan ini!� atau �Harus lakukan itu!�, �Tidak boleh begini!� dan sebagainya. Cara-cara dogmatis seperti ini akan membunuh kreatifitas manusia dalam berpikir serta membentuk paradigma yang kaku dan sempit tanpa disertai pemikiran yang matang.
Dampak lain yaitu munculnya �ego� berlebihan terhadap keyakinan pribadi secara berlebihan yang sering diberi stempel �fanatisme�. Pada gilirannya penyampaian ajaran secara dogmatis akan mematikan perkembangan ajaran itu sendiri karena timbulnya benturan antara dogma dan realita. Dalam Sutta Nipata, 889 disebutkan:
�Orang yang dipenuhi pandangan-pandangan yang kaku dan mati, yang dibuai kesombongan dan kecongkakan, yang menganggap dirinya �sempurna�, akan terpaku di dalam opininya sendiri karena dia memegang erat-erat pandangannya sendiri.�
Sang Buddha sendiri lebih menekankan kepada pendekatan rasional yang disertai uraian dan penjelasan yang logis. Melihat Sigala melakukan penghormatan keenam arah mengikuti nasihat terakhir ayahnya, Baliau tidak berkata �Jangan!�. Beliau lebih memilih untuk memaknai ulang nasihat terakhir itu menjadi bentuk perbuatan yang lebih bermanfaat. Ketika Sang Buddha berkata �Jangan bergaul dengan sahabat-sahabat palsu.�, Beliau tidak berhenti sampai di situ saja. Selanjutnya dipaparkan siapa saja sahabat-sahabat palsu itu dan atas dasar apa kita dilarang bergaul dengan mereka. Ketika Sang Guru mengajarkan untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap makhluk hidup, Beliau tidak hanya menganjurkan kita untuk tidak menyakiti dan melukai makhluk lain, tetapi juga mengharapkan kita untuk menghargai kehidupan dan mengembangkan mettā kepada semua makhluk.
Cara penyampaian seperti ini tidak menyebabkan kebebasan berpikir menjadi mati, melainkan memberikan tuntunan metodis ke arah pencapaian kebenaran yang dilandasi pengertian benar. Uraian-uraian yang disampaikan Sang Buddha secara terstruktur dan terkadang menggunakan hubungan kausal membuka paradigma baru dan pencerahan spiritual bagi Sigala. Setelah mendengar kotbah dari Sang Buddha, Sigala berkata �Sungguh mengagumkan, Bhante! Sungguh mengagumkan, Bhante! Sama halnya seperti seseorang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada yang tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan agar mereka yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya.Demikian pula, dengan berbagai macam cara Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā kepadaku.�
Berbeda dengan penyampaian secara dogmatis, pendekatan rasional menempatkan ajaran (baca: kebenaran) sebagai objek yang harus dibedah, diteliti, dan dianalisa lebih dalam. Sarananya adalah pisau bedah yang disebut �kebebasan berpikir�. Sangat naif bila ada yang berpikir bahwa kebenaran universal hanya berwujud sebuah pemikiran tunggal. Bukankah semakin banyak interpretasi akan mencerminkan wujud �kebenaran� secara lebih baik? Kebebasan berpikir menyebabkan kebijaksanaan kita akan bertambah baik secara intelektual maupun spiritual, dan pada akhirnya kelestarian ajaran itu sendiri akan terjaga. Metode inilah yang digunakan oleh Guru Agung kita dalam mendidik siswa-siswanya.