Begitu ikrar nikah dikumandangkan, masing-masing pasangan masuk dalam lingkaran perkawinan. Perkawinan menuntut kemampuan adaptasi, penyesuaian antarpasangan oleh karena perbedaan latar belakang keluarga, pendidikan, dan kebiasaan adat istiadat.
Pasangan menghadapi tantangan kehidupan nyata yang menuntut tingkat kematangan kepribadian tertentu untuk mampu melewatinya dengan mulus. Banyak perbedaan yang tidak terelakkan dapat menjadi sumber konflik dalam perkawinan.
Pasangan perkawinan adalah dua orang dan secara esensial berbeda. Mereka tidak akan pernah memiliki perspektif yang sama. Pengalaman mereka berbeda, kebutuhan mereka berbeda, dan nilai-nilai yang dianut pun akan memberikan pengaruh sudut pandang masing-masing dalam menghadapi permasalahan seperti pada ilustrasi berikut.
”Kami tidak bisa berkomunikasi, ia selalu secara keras menolak usul saya dan ia tidak pernah mau mendengar apa yang saya sampaikan. Ia berpendapat bahwa saya berada pada tempat yang berbeda. Setiap pembicaraan kami berakhir dengan pertengkaran.”
Respons salah satu pasangan tentang pasangannya membuat tidak diperolehnya toleransi dari keduanya. Kebanyakan orang berpikir bahwa permasalahan yang dihadapinya dalam perkawinan lebih disebabkan oleh kesalahan pasangannya.
”Bila saya mengeluhkan kesedihan dan permasalahan padanya, saya merasa bahwa sayalah yang terluka. Ia selalu mengatakan bahwa kalau saya ingin mengatasi masalah, saya harus mulai dari diri saya sendiri. Ia selalu mengatakan bahwa kelakuannya tidak terkait dengan kesedihan yang saya rasakan.”
Pandangan lain tentang masalah yang dihadapi sering terdapat pada pasangan perkawinan. Hal ini tidak akan terjadi bila pasangan tidak dipengaruhi oleh kesan pertama seperti ini:
”Karena suami saya pernah mendapatkan pertolongan dari seorang psikiater, saya berpendapat bahwa setiap permasalahan yang terjadi di antara kami disebabkan oleh dirinya. Padahal, permasalahan yang ia hadapi pada masa lalu disebabkan oleh perlakuan orangtuanya. Sedangkan cara pandang saya terhadap masalah juga dipengaruhi oleh sikap orangtua terhadap saya pada masa lalu dan yang pasti orangtua saya berbeda dengan orangtuanya.”
Selain pasangan harus mampu menerima perbedaan esensial dari diri masing-masing dan berupaya untuk mencari titik temu yang dapat disepakati secara bersama, kiranya penyesuaian antarpasangan akan semakin optimal bila mengacu pada empat pilar utama dalam perkawinan.
Pilar pertama
Cinta kasih tulus dan rasa hormat antarpasangan:
Atas dasar pilar ini, maka dinamika interrelasi antarpasangan menjadi nyaman bagi keduanya. Ada kesediaan untuk saling mendengar secara aktif pada apa yang disampaikan oleh pasangan. Masing-masing pasangan menghargai pendapat pasangan sehingga terjadi diskusi yang menarik dalam upaya mencari solusi masalah.
Masing-masing pasangan menghargai toleransi serta membuka pintu maaf yang cukup. Bila satu masalah telah ditemukan solusinya, kalaupun ada kesalahan salah satu pasangan, pasangan yang lain tidak mengungkit-ungkit kesalahan tersebut.
Masing-masing pasangan seyogianya tidak merasa enggan menghargai pasangan yang telah memperlakukannya dengan manis. Perhatian pasangan akan kesukaan, kesenangan, dan minat pasangan akan meningkatkan respek pasangan terhadap suami/istrinya. Dengan dasar kasih, maka seyogianya kedua pasangan belajar mendengar apa yang disampaikan suami/istri. Dengan begitu, maka tingkat kepekaan perasaan pasangan terhadap perasaan pasangannya akan meningkat. Pasangan akan merasa lebih dipahami.
Pilar kedua
Keterbukaan berdasar kesepakatan yang dibicarakan pada saat awal pernikahan dalam pengelolaan penghasilan keluarga.
Kesepakatan dalam pengelolaan keuangan akan menghindarkan saling curiga antarpasangan. Perkawinan dual-career saat ini memang menjadi hal yang biasa. Suami-istri memiliki karier masing-masing, namun dengan pilar kedua ini, suami seyogianya tetap mengambil peran dominan dalam menafkahi keluarga.
Kalaupun ada kontribusi penghasilan pihak istri, hal itu tetap dalam koridor sebagai pendukung. Andaikan terjadi kondisi tidak terelakkan, suami kena PHK, sakit, yang memaksa istri mengambil alih peran suami dalam mencari nafkah, maka pilar pertama hendaknya dikembangkan sehingga tercipta relasi tulus dalam bekerja sama menjaga keutuhan perkawinan.
Pilar ketiga
Penyesuaian dalam kehidupan seksual dengan upaya untuk memperoleh kondisi ”well-being” (kenyamanan psikoseksual) antarpasangan sangat didukung oleh respek antarpasangan oleh karena komunikasi yang nyaman, jalinan kasih, dan ketertarikan seksual antarpasangan yang terjaga.
Pilar keempat
Kebersamaan dalam aktivitas spiritual, seperti pergi ke vihara bersama, sembayang bersama, berdoa bersama, membaca parita bersama, dan menghadiri perayaan keagamaan bersama di keluarga besar masing-masing pasangan dengan hati ringan dan gembira akan mempererat tali silaturahim antarkeluarga besar, dan akan mengimbas pada peningkatan rasa kasih antarpasangan pula.
Setelah menyimak uraian di atas, kita semua dapat mengevaluasi kehidupan perkawinan kita, pada pilar manakah kiranya perkawinan kita belum berpijak. Satu hal yang perlu kita simak adalah bahwa meja dengan kaki empat akan lebih kokoh berdiri daripada meja berkaki tiga, apalagi bila hanya berkaki dua. Jadi, perkawinan dengan disangga oleh empat pilar pun diharapkan dapat kokoh terjaga sampai kakek-nenek.
Pasangan menghadapi tantangan kehidupan nyata yang menuntut tingkat kematangan kepribadian tertentu untuk mampu melewatinya dengan mulus. Banyak perbedaan yang tidak terelakkan dapat menjadi sumber konflik dalam perkawinan.
Pasangan perkawinan adalah dua orang dan secara esensial berbeda. Mereka tidak akan pernah memiliki perspektif yang sama. Pengalaman mereka berbeda, kebutuhan mereka berbeda, dan nilai-nilai yang dianut pun akan memberikan pengaruh sudut pandang masing-masing dalam menghadapi permasalahan seperti pada ilustrasi berikut.
”Kami tidak bisa berkomunikasi, ia selalu secara keras menolak usul saya dan ia tidak pernah mau mendengar apa yang saya sampaikan. Ia berpendapat bahwa saya berada pada tempat yang berbeda. Setiap pembicaraan kami berakhir dengan pertengkaran.”
Respons salah satu pasangan tentang pasangannya membuat tidak diperolehnya toleransi dari keduanya. Kebanyakan orang berpikir bahwa permasalahan yang dihadapinya dalam perkawinan lebih disebabkan oleh kesalahan pasangannya.
”Bila saya mengeluhkan kesedihan dan permasalahan padanya, saya merasa bahwa sayalah yang terluka. Ia selalu mengatakan bahwa kalau saya ingin mengatasi masalah, saya harus mulai dari diri saya sendiri. Ia selalu mengatakan bahwa kelakuannya tidak terkait dengan kesedihan yang saya rasakan.”
Pandangan lain tentang masalah yang dihadapi sering terdapat pada pasangan perkawinan. Hal ini tidak akan terjadi bila pasangan tidak dipengaruhi oleh kesan pertama seperti ini:
”Karena suami saya pernah mendapatkan pertolongan dari seorang psikiater, saya berpendapat bahwa setiap permasalahan yang terjadi di antara kami disebabkan oleh dirinya. Padahal, permasalahan yang ia hadapi pada masa lalu disebabkan oleh perlakuan orangtuanya. Sedangkan cara pandang saya terhadap masalah juga dipengaruhi oleh sikap orangtua terhadap saya pada masa lalu dan yang pasti orangtua saya berbeda dengan orangtuanya.”
Selain pasangan harus mampu menerima perbedaan esensial dari diri masing-masing dan berupaya untuk mencari titik temu yang dapat disepakati secara bersama, kiranya penyesuaian antarpasangan akan semakin optimal bila mengacu pada empat pilar utama dalam perkawinan.
Pilar pertama
Cinta kasih tulus dan rasa hormat antarpasangan:
Atas dasar pilar ini, maka dinamika interrelasi antarpasangan menjadi nyaman bagi keduanya. Ada kesediaan untuk saling mendengar secara aktif pada apa yang disampaikan oleh pasangan. Masing-masing pasangan menghargai pendapat pasangan sehingga terjadi diskusi yang menarik dalam upaya mencari solusi masalah.
Masing-masing pasangan menghargai toleransi serta membuka pintu maaf yang cukup. Bila satu masalah telah ditemukan solusinya, kalaupun ada kesalahan salah satu pasangan, pasangan yang lain tidak mengungkit-ungkit kesalahan tersebut.
Masing-masing pasangan seyogianya tidak merasa enggan menghargai pasangan yang telah memperlakukannya dengan manis. Perhatian pasangan akan kesukaan, kesenangan, dan minat pasangan akan meningkatkan respek pasangan terhadap suami/istrinya. Dengan dasar kasih, maka seyogianya kedua pasangan belajar mendengar apa yang disampaikan suami/istri. Dengan begitu, maka tingkat kepekaan perasaan pasangan terhadap perasaan pasangannya akan meningkat. Pasangan akan merasa lebih dipahami.
Pilar kedua
Keterbukaan berdasar kesepakatan yang dibicarakan pada saat awal pernikahan dalam pengelolaan penghasilan keluarga.
Kesepakatan dalam pengelolaan keuangan akan menghindarkan saling curiga antarpasangan. Perkawinan dual-career saat ini memang menjadi hal yang biasa. Suami-istri memiliki karier masing-masing, namun dengan pilar kedua ini, suami seyogianya tetap mengambil peran dominan dalam menafkahi keluarga.
Kalaupun ada kontribusi penghasilan pihak istri, hal itu tetap dalam koridor sebagai pendukung. Andaikan terjadi kondisi tidak terelakkan, suami kena PHK, sakit, yang memaksa istri mengambil alih peran suami dalam mencari nafkah, maka pilar pertama hendaknya dikembangkan sehingga tercipta relasi tulus dalam bekerja sama menjaga keutuhan perkawinan.
Pilar ketiga
Penyesuaian dalam kehidupan seksual dengan upaya untuk memperoleh kondisi ”well-being” (kenyamanan psikoseksual) antarpasangan sangat didukung oleh respek antarpasangan oleh karena komunikasi yang nyaman, jalinan kasih, dan ketertarikan seksual antarpasangan yang terjaga.
Pilar keempat
Kebersamaan dalam aktivitas spiritual, seperti pergi ke vihara bersama, sembayang bersama, berdoa bersama, membaca parita bersama, dan menghadiri perayaan keagamaan bersama di keluarga besar masing-masing pasangan dengan hati ringan dan gembira akan mempererat tali silaturahim antarkeluarga besar, dan akan mengimbas pada peningkatan rasa kasih antarpasangan pula.
Setelah menyimak uraian di atas, kita semua dapat mengevaluasi kehidupan perkawinan kita, pada pilar manakah kiranya perkawinan kita belum berpijak. Satu hal yang perlu kita simak adalah bahwa meja dengan kaki empat akan lebih kokoh berdiri daripada meja berkaki tiga, apalagi bila hanya berkaki dua. Jadi, perkawinan dengan disangga oleh empat pilar pun diharapkan dapat kokoh terjaga sampai kakek-nenek.