Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng) Mannosilatala. Kemudian para istri Dewa-Dewa Agung tersebut memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasanya dipakai oleh para dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai dibelalainya memasuki kamar, mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahu impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti dari impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Waisak Ratu memohon perkenan dari Raja untuk bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha tibalah rombongan Ratu di taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Secepatnya para dayang memasang tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada sebatang dahan pohon Sala, dan dalam sikap berdiri itu lahirlah bayi laki-laki. Waktu itu tepat bulan purnama di bulan Waisak, tahun 623 sebelum masehi (SM).
Empat Maha Brahma menerima bayi itu dengan jaring emas. Dari langit turunlah air hangat bercampur dingin untuk memandikan anak itu, walaupun sebetulnya sang bayi sudah bersih, tanpa darah yang melekat. Bayi itu kemudian berdiri tegak, berjalan tujuh langkah. Setiap dia menapak, di bawah kakinya tumbuhlah bunga teratai, lalu Ia berkata:
"Aggo `ham asmi lokassa
jettho `ham asmi lokassa
settho `ham asmi lokassa
ayam antima jati
natthi dani punabbhavo"
artinya adalah:
"Akulah pemimpin di dunia ini
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi"
Kelahiran sang pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kaladevala yang merupakan guru pribadi raja. Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut. Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (Manusia Agung) pada bayi tersebut, ia memberikan hormat. Melihat hal ini Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu pertapa Asita tertawa gembira lalu kemudian menangis.
Raja bertanya, mengapa? Pertapa itu menjelaskan, dia tertawa karena senang bahwa bayi itu akan menjadi Buddha kelak, tetapi dia menangis, karena dia sudah tua, tidak akan berkesempatan turut menerima ajaran-ajaran Sang Buddha itu kelak.
Pada hari yang sama, lahir pula (timbul) dalam dunia ini:
Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahula mata (ibu dari Rahula).
Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhartha.
Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhartha.
Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kanilavatthu.
Seekor gajah istana.
Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhartha kelak akan mendapatkan Agung.
Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.