Kisah pelacur yang membunuh tuhannya
Senja itu senyap ketika angin mendesir menerbangkan daun yang gugur perlahan.
Pelacur itu mengutuk nasibnya. Dua hari lalu rekannya mati Dengan mengerikan.
Saat pemakaman jenazahnya tak bisa masuk liang.
Tubuhnya tiba-tiba memanjang sehingga panjangnya melebihi ukuranliangnya.
Menurut orang-orang tua ia dikutuk oleh langit dan bumi.
Setelah didatangkan seorang kyai barulah jenazahnya bisa dimakamkan.
Peristiwa itu demikian membekas di hatinya hingga terbitlah sesal.
Sejak itu ia selalu murung saja memikirkan masa depannya. Dan sejak
itu juga dia ingat kembali masa-masa kecilnya.
Dulu ia bersama teman-temannya biasa ke surau untuk mengaji selepas
maghrib. Ia dulu sering ikut majelis taklim. Ia dulu rajin berpuasa,
tarawih dan ikut membantu menyiapkan sahur untuk keluarga. Tapi sejak
ia menikah dengan tetangga desanya nasibnya menjadi berubah.
Suaminya ternyata penipu, pemabuk dan penjudi. Ketika seluruh hartanya habis di meja judi, ia menjual istrinya ke seorang germo.
Dan, singkat cerita, sejak itulah dia menjadi seorang pelacur.
Dan kematian rekannya itu menjadikannya merasa berdosa, sangat
berdosa. Ia ingat ajaran ustad-ustadnya di kampung dulu, tentang
siksa neraka bagi pelacur seperti dirinya. Ia dulu pernah membaca
cerita bergambar yang mengisahkan siksa neraka, di mana para pelacur
kemaluannya ditusuk dengan besi panas di dalam ruang api yang
menyala-nyala.
Dan di senja yang senyap itu ia sangat sedih, ia merasa tak lagi
berharga di mata Tuhan. Pikirannya penuh dengan bayang-bayang
murka Tuhan. Ia lalu ingat lagi masa remajanya. Dulu ustadnya dengan
hidup menceritakan bagaimana Tuhan menyiksa para pendosa dengan
kejam. Tuhan mengawasi setiap tindak-tanduk manusia, memerintahkan
malaikat mencatat segala amalnya, dan menghukum atau memberi
kenikmatan yang tak terhingga.
Dan di senja itu juga ia sangat murung. Setelah berpikir cukup lama ia memutuskan pergi mencari ulama untuk meminta nasihatnya.
Maka esok harinya ia meminta ijin pada germonya untuk berbelanja.
Tapi Tentu saja ia tak berbelanja, ia pergi ke mesjid terdekat.
Menemui ulama di sana, dan tentu saja hujan nasihat menyiram
pikirannya. Dan demikianlah ia berjalan dari satu mesjid ke mesjid
lainnya, dari satu majelis taklim ke majelis taklim lainnya.
Dan hujan nasihat itu semakin deras. Semuanya mirip, tentang ampunan dan janji sorga, dan, lagi-lagi, tentang neraka yang mengerikan, tentang Tuhan Yang Maha Adil yang memberi balasan setimpal atas hamba-hambanya; dia harus bertobat, kembali ke jalan lurus, banyak salat, dan istighfar.
Tapi itu semua tak bisa menentramkannya, sebab setiap kali ia salat,
istighfar, bayangan murka Tuhan dalam bentuk siksa neraka selalu
saja Hadir di pikirannya. Kembali dia mengutuki nasibnya. Maka
hatinya gundah, dan tetap saja ia masih merasa kotor di hadapan
Tuhan. Ia selalu ingat siksa neraka itu.
Hingga akhirnya setelah beberapa minggu tak juga merasa tenang ia memutuskan tak lagi mencari ketenangan itu. Ia selalu ingat siksa Tuhan di neraka. Ia tak lagi yakin ada ampunan dari-Nya karena bayangan siksa-Nya yangdemikian kejam terus saja menghantuinya, karena ia masih melacur, lagipula ia tak ada pekerjaan lain selain melacur karena ia tak
punya keahlian lainnya - jadi bagaimana mungkin ia diampuni jika
bertobat tetapi mengulangi kesalahan yang sama; tapi jika ia tak melacur ia pasti kelaparan.
Ia merasa tak punya pilihan lain, hingga akhirnya ia secara tak
sadar telah menarik kesimpulannya sendiri tentang Tuhan:
Dia adalah Yang Maha Keras di dalam Maha Keadilan-Nya. Dia adil, dan menepati janji, maka tentunya siksaan itu pasti dijatuhkan.
Dirinya telah ditakdirkan menjadi pelacur selamanya dan karena itu akan tetap bergelimang dosa. Dengan pikiran begitu ia patah semangat.
Pikirannya kalut dan akhirnya ia nekat hendak bunuh diri. Ya, bunuh
diri! Bukankah sama saja mati nanti dengan mati sekarang, toh
hukuman sudah menanti. Memang benar dia pernah dengar sifat-Nya yang
Maha Pengampun.
Ia memang pernah dengar bahwa sebelum nyawa sampai ke kerongkongan ampunan-Nya masih terbuka. Akan tetapi ia juga pernah mendengar bahwa manusia berdosa mesti masuk neraka dulu untuk disucikan dari kotoran-kotoran dosanya, baru diangkat ke sorga.
Jadi, pikirnya, mungkin, sekali lagi mungkin, dirinya akan diampuni,
tetapi tetap saja ia mesti masuk neraka, sebab Tuhan Maha Adil dan
Menepati Janji. Lagipula tak ada jaminan ia masih hidup esok hari,
dan tak ada jaminan dia akan mati dalam keadaan telah bertobat.
Selain itu cap dirinya sebagai pelacur sungguh sulit dihapuskan.
Bahkan kalau ia meninggalkan dunia pelacuran ini, sebutan "bekas
pelacur" tetap saja memalukan. Bahkan di dunia ini sesungguhnya dia
telah dihukum secara sosial dan psikologis. Bahkan di dunia
ini dia sudah dihukum! Jadi Sekali lagi, hukuman itu tampak sebagai
sebuah keniscayaan.
Sekarang ia harus memikirkan cara bunuh diri yang paling efisien dan
tidak menyakitkan. Gantung diri jelas tak nyaman. Terjun dari gedung
bertingkat juga tak mungkin sebab dia takut ketinggian. Ini persoalan
serius, ia harus memikirkannya masak-masak. Dan malam ini, sambil
melakukan pekerjaannya melayani lelaki, pikirannya sibuk memikirkan
cara bunuh diri secara efisien dan tak menyakitkan. Dan pada dini
hari sekitar jam 4 dia sudah menemukan caranya.
Dua hari kemudian ia pergi dari lokalisasi ke desa di selatan kota
yang sering dikunjunginya jika dia stres untuk melaksanakan niatnya.
Di ujung desa itu terdapat lembah ngarai yang pemandangannya sangat
indah. Di sebelah timur ngarai itu terdapat hutan lebat, dan gunung
yang tak begitu tinggi. Saat matahari muncul dari balik gunung itu
sinar emasnya meluncur seperti lempengan emas menerpa dedaunan
pepohonan hutan itu.
Senja itu senyap ketika angin mendesir menerbangkan daun yang gugur perlahan.
Pelacur itu mengutuk nasibnya. Dua hari lalu rekannya mati Dengan mengerikan.
Saat pemakaman jenazahnya tak bisa masuk liang.
Tubuhnya tiba-tiba memanjang sehingga panjangnya melebihi ukuranliangnya.
Menurut orang-orang tua ia dikutuk oleh langit dan bumi.
Setelah didatangkan seorang kyai barulah jenazahnya bisa dimakamkan.
Peristiwa itu demikian membekas di hatinya hingga terbitlah sesal.
Sejak itu ia selalu murung saja memikirkan masa depannya. Dan sejak
itu juga dia ingat kembali masa-masa kecilnya.
Dulu ia bersama teman-temannya biasa ke surau untuk mengaji selepas
maghrib. Ia dulu sering ikut majelis taklim. Ia dulu rajin berpuasa,
tarawih dan ikut membantu menyiapkan sahur untuk keluarga. Tapi sejak
ia menikah dengan tetangga desanya nasibnya menjadi berubah.
Suaminya ternyata penipu, pemabuk dan penjudi. Ketika seluruh hartanya habis di meja judi, ia menjual istrinya ke seorang germo.
Dan, singkat cerita, sejak itulah dia menjadi seorang pelacur.
Dan kematian rekannya itu menjadikannya merasa berdosa, sangat
berdosa. Ia ingat ajaran ustad-ustadnya di kampung dulu, tentang
siksa neraka bagi pelacur seperti dirinya. Ia dulu pernah membaca
cerita bergambar yang mengisahkan siksa neraka, di mana para pelacur
kemaluannya ditusuk dengan besi panas di dalam ruang api yang
menyala-nyala.
Dan di senja yang senyap itu ia sangat sedih, ia merasa tak lagi
berharga di mata Tuhan. Pikirannya penuh dengan bayang-bayang
murka Tuhan. Ia lalu ingat lagi masa remajanya. Dulu ustadnya dengan
hidup menceritakan bagaimana Tuhan menyiksa para pendosa dengan
kejam. Tuhan mengawasi setiap tindak-tanduk manusia, memerintahkan
malaikat mencatat segala amalnya, dan menghukum atau memberi
kenikmatan yang tak terhingga.
Dan di senja itu juga ia sangat murung. Setelah berpikir cukup lama ia memutuskan pergi mencari ulama untuk meminta nasihatnya.
Maka esok harinya ia meminta ijin pada germonya untuk berbelanja.
Tapi Tentu saja ia tak berbelanja, ia pergi ke mesjid terdekat.
Menemui ulama di sana, dan tentu saja hujan nasihat menyiram
pikirannya. Dan demikianlah ia berjalan dari satu mesjid ke mesjid
lainnya, dari satu majelis taklim ke majelis taklim lainnya.
Dan hujan nasihat itu semakin deras. Semuanya mirip, tentang ampunan dan janji sorga, dan, lagi-lagi, tentang neraka yang mengerikan, tentang Tuhan Yang Maha Adil yang memberi balasan setimpal atas hamba-hambanya; dia harus bertobat, kembali ke jalan lurus, banyak salat, dan istighfar.
Tapi itu semua tak bisa menentramkannya, sebab setiap kali ia salat,
istighfar, bayangan murka Tuhan dalam bentuk siksa neraka selalu
saja Hadir di pikirannya. Kembali dia mengutuki nasibnya. Maka
hatinya gundah, dan tetap saja ia masih merasa kotor di hadapan
Tuhan. Ia selalu ingat siksa neraka itu.
Hingga akhirnya setelah beberapa minggu tak juga merasa tenang ia memutuskan tak lagi mencari ketenangan itu. Ia selalu ingat siksa Tuhan di neraka. Ia tak lagi yakin ada ampunan dari-Nya karena bayangan siksa-Nya yangdemikian kejam terus saja menghantuinya, karena ia masih melacur, lagipula ia tak ada pekerjaan lain selain melacur karena ia tak
punya keahlian lainnya - jadi bagaimana mungkin ia diampuni jika
bertobat tetapi mengulangi kesalahan yang sama; tapi jika ia tak melacur ia pasti kelaparan.
Ia merasa tak punya pilihan lain, hingga akhirnya ia secara tak
sadar telah menarik kesimpulannya sendiri tentang Tuhan:
Dia adalah Yang Maha Keras di dalam Maha Keadilan-Nya. Dia adil, dan menepati janji, maka tentunya siksaan itu pasti dijatuhkan.
Dirinya telah ditakdirkan menjadi pelacur selamanya dan karena itu akan tetap bergelimang dosa. Dengan pikiran begitu ia patah semangat.
Pikirannya kalut dan akhirnya ia nekat hendak bunuh diri. Ya, bunuh
diri! Bukankah sama saja mati nanti dengan mati sekarang, toh
hukuman sudah menanti. Memang benar dia pernah dengar sifat-Nya yang
Maha Pengampun.
Ia memang pernah dengar bahwa sebelum nyawa sampai ke kerongkongan ampunan-Nya masih terbuka. Akan tetapi ia juga pernah mendengar bahwa manusia berdosa mesti masuk neraka dulu untuk disucikan dari kotoran-kotoran dosanya, baru diangkat ke sorga.
Jadi, pikirnya, mungkin, sekali lagi mungkin, dirinya akan diampuni,
tetapi tetap saja ia mesti masuk neraka, sebab Tuhan Maha Adil dan
Menepati Janji. Lagipula tak ada jaminan ia masih hidup esok hari,
dan tak ada jaminan dia akan mati dalam keadaan telah bertobat.
Selain itu cap dirinya sebagai pelacur sungguh sulit dihapuskan.
Bahkan kalau ia meninggalkan dunia pelacuran ini, sebutan "bekas
pelacur" tetap saja memalukan. Bahkan di dunia ini sesungguhnya dia
telah dihukum secara sosial dan psikologis. Bahkan di dunia
ini dia sudah dihukum! Jadi Sekali lagi, hukuman itu tampak sebagai
sebuah keniscayaan.
Sekarang ia harus memikirkan cara bunuh diri yang paling efisien dan
tidak menyakitkan. Gantung diri jelas tak nyaman. Terjun dari gedung
bertingkat juga tak mungkin sebab dia takut ketinggian. Ini persoalan
serius, ia harus memikirkannya masak-masak. Dan malam ini, sambil
melakukan pekerjaannya melayani lelaki, pikirannya sibuk memikirkan
cara bunuh diri secara efisien dan tak menyakitkan. Dan pada dini
hari sekitar jam 4 dia sudah menemukan caranya.
Dua hari kemudian ia pergi dari lokalisasi ke desa di selatan kota
yang sering dikunjunginya jika dia stres untuk melaksanakan niatnya.
Di ujung desa itu terdapat lembah ngarai yang pemandangannya sangat
indah. Di sebelah timur ngarai itu terdapat hutan lebat, dan gunung
yang tak begitu tinggi. Saat matahari muncul dari balik gunung itu
sinar emasnya meluncur seperti lempengan emas menerpa dedaunan
pepohonan hutan itu.