Bayangkan suatu hari nanti Anda bisa membungkus hadiah dengan kertas kado bertuliskan "Selamat Ulang Tahun!" yang bisa menyala tanpa baterai konvensional yang kita kenal selama ini, karena kertas itu sendirilah baterainya. Itulah salah satu kemungkinan penggunaan baterai baru yang dibuat dari selulosa, yaitu bahan kertas, sehingga ramah lingkungan karena bisa diurai alam.
Para ilmuwan dari berbagai negara sedang berusaha mengembangkan baterai tipis, fleksibel, ringan, murah, dan ramah lingkungan, yang seluruhnya terbuat dari bahan non-logam. Salah satu bahan yang paling menjanjikan untuk beterai ini adalah polimer berdaya-antar. Namun, hingga kini bahan ini kurang praktis dijadikan baterai, karena kemampuannya menyimpan muatan listrik seringkali berkurang seiring pemakaian.
Mudah dibuat
Nah, kunci pembuatan baterai baru ini ternyata alga hijau Cladophora yang seringkali dianggap pengganggu. Tumbuhan air tawar yang mirip rambut ini bertumpuk dan membusuk begitu saja di seluruh dunia, mengganggu pemandangan dan baunya menyengat.
Alga ini memiliki jenis selulosa yang tak lazim, dengan ciri permukaan selulosa yang sangat luas, yaitu 100 kali selulosa kertas biasa. Ini memungkinkan para peneliti untuk melipatgandakan jumlah polimer berdaya-antar, sehingga baterai tersebut lebih efektif untuk diisi lagi, lebih mampu menahan listrik dan menyalurkan daya listrik.
"Kami telah lama mengharapkan penemuan berguna dari materi alga dan kini hal itu memang memungkinkan," kata peneliti Maria Strømme, pakar nanoteknologi dari Universitas Uppsala, Swedia. "Ini membuka kemungkinan baru untuk produksi skala besar bagi sistem penyimpanan energi yang ramah lingkungan, hemat biaya, dan ringan."
Baterai jenis baru ini terdiri dari lapisan-lapisan tipis polimer berdaya-antar yang berukuran hanya 40 hingga 50 nanometer, atau dari serat pembungkus selulosa alga selebar satu per semiliar meter, hanya selebar 20 hingga 30 nanometer yang diambil untuk dijadikan lembaran kertas.
"Ini sangat mudah dibuat," ujar Strømme.
Cepat diisi ulang
Baterai jenis baru ini bisa memuat daya listrik 50 sampai 200 persen lebih banyak dibandingkan baterai polimer berdaya-antar lainnya yang serupa, dan kalau nanti sudah dioptimalkan, mungkin malah bisa bersaing dengan baterai litium. Baterai ini juga bisa diisi ulang jauh lebih cepat daripada baterai isi-ulang biasa - bandingkan baterai biasa setidaknya butuh sejam untuk diisi ulang, sedangkan baterai baru ini hanya perlu 11 detik hingga delapan menit.
Dala pengembangannya, baterai baru ini juga menunjukkan kemajuan pesat dalam hal kemampuan menahan daya seiring pemakaian. Kalau dibanding dengan baterai polimer lainnya yang kapasitas penahanan dayanya turun 50 persen setelah 60 siklus isi-pakai, baterai baru ini cuma kehilangan 6 persen setelah 100 siklus.
"Pada lapisan polimer yang tebal, sulit untuk mengisi ulang seluruh bahan itu dengan benar, malahan bahan itu berubah jadi insulator (penghambat), jadi kapasitasnya malah berkurang," terang Gustav Nyström, pakar elektrokimia dari Universitas Uppsala. "Kalau lapisannya tipis, seluruh bagiannya bisa menampung dan mengeluarkan daya dengan baik."
Alat elektronik fleksibel
Para peneliti mengisyaratkan bahwa baterai mereka ini tampaknya cocok dapakai untuk alat elektronik yang fleksibel, seperti bahan kain dan pembungkus.
"Kami tak berniat menggantikan litium atau baterai ion - kami ingin menemukan pemakaian baterai yang belum ada," ujar Strømme. "Misalnya baterai bisa diisi di balik kertas pelapis dinding untuk menyalakan sensor di rumah anda. Atau bagaimana bila ditaruh dalam pakaian anda, dan dipakai untuk alat pemindai keringat untuk memeriksa bila anda sakit?"
Arah penelitian di masa depan juga memperhitungkan berapa banyak daya yang hilang dari baterai ini seiring waktu, yang merupakan masalah umum bagi baterai polimer dan jenis lainnya. Penelitian juga melihat kemungkinan memperbesar skala baterai jenis baru ini, "Kita lihat bagaimana jadinya bila baterai ini dibuat dalam skala sangat besar."
Para peneliti menjabarkan hasil terakhir mereka dalam jurnal berjudul 'Nano Letters'.
Para ilmuwan dari berbagai negara sedang berusaha mengembangkan baterai tipis, fleksibel, ringan, murah, dan ramah lingkungan, yang seluruhnya terbuat dari bahan non-logam. Salah satu bahan yang paling menjanjikan untuk beterai ini adalah polimer berdaya-antar. Namun, hingga kini bahan ini kurang praktis dijadikan baterai, karena kemampuannya menyimpan muatan listrik seringkali berkurang seiring pemakaian.
Mudah dibuat
Nah, kunci pembuatan baterai baru ini ternyata alga hijau Cladophora yang seringkali dianggap pengganggu. Tumbuhan air tawar yang mirip rambut ini bertumpuk dan membusuk begitu saja di seluruh dunia, mengganggu pemandangan dan baunya menyengat.
Alga ini memiliki jenis selulosa yang tak lazim, dengan ciri permukaan selulosa yang sangat luas, yaitu 100 kali selulosa kertas biasa. Ini memungkinkan para peneliti untuk melipatgandakan jumlah polimer berdaya-antar, sehingga baterai tersebut lebih efektif untuk diisi lagi, lebih mampu menahan listrik dan menyalurkan daya listrik.
"Kami telah lama mengharapkan penemuan berguna dari materi alga dan kini hal itu memang memungkinkan," kata peneliti Maria Strømme, pakar nanoteknologi dari Universitas Uppsala, Swedia. "Ini membuka kemungkinan baru untuk produksi skala besar bagi sistem penyimpanan energi yang ramah lingkungan, hemat biaya, dan ringan."
Baterai jenis baru ini terdiri dari lapisan-lapisan tipis polimer berdaya-antar yang berukuran hanya 40 hingga 50 nanometer, atau dari serat pembungkus selulosa alga selebar satu per semiliar meter, hanya selebar 20 hingga 30 nanometer yang diambil untuk dijadikan lembaran kertas.
"Ini sangat mudah dibuat," ujar Strømme.
Cepat diisi ulang
Baterai jenis baru ini bisa memuat daya listrik 50 sampai 200 persen lebih banyak dibandingkan baterai polimer berdaya-antar lainnya yang serupa, dan kalau nanti sudah dioptimalkan, mungkin malah bisa bersaing dengan baterai litium. Baterai ini juga bisa diisi ulang jauh lebih cepat daripada baterai isi-ulang biasa - bandingkan baterai biasa setidaknya butuh sejam untuk diisi ulang, sedangkan baterai baru ini hanya perlu 11 detik hingga delapan menit.
Dala pengembangannya, baterai baru ini juga menunjukkan kemajuan pesat dalam hal kemampuan menahan daya seiring pemakaian. Kalau dibanding dengan baterai polimer lainnya yang kapasitas penahanan dayanya turun 50 persen setelah 60 siklus isi-pakai, baterai baru ini cuma kehilangan 6 persen setelah 100 siklus.
"Pada lapisan polimer yang tebal, sulit untuk mengisi ulang seluruh bahan itu dengan benar, malahan bahan itu berubah jadi insulator (penghambat), jadi kapasitasnya malah berkurang," terang Gustav Nyström, pakar elektrokimia dari Universitas Uppsala. "Kalau lapisannya tipis, seluruh bagiannya bisa menampung dan mengeluarkan daya dengan baik."
Alat elektronik fleksibel
Para peneliti mengisyaratkan bahwa baterai mereka ini tampaknya cocok dapakai untuk alat elektronik yang fleksibel, seperti bahan kain dan pembungkus.
"Kami tak berniat menggantikan litium atau baterai ion - kami ingin menemukan pemakaian baterai yang belum ada," ujar Strømme. "Misalnya baterai bisa diisi di balik kertas pelapis dinding untuk menyalakan sensor di rumah anda. Atau bagaimana bila ditaruh dalam pakaian anda, dan dipakai untuk alat pemindai keringat untuk memeriksa bila anda sakit?"
Arah penelitian di masa depan juga memperhitungkan berapa banyak daya yang hilang dari baterai ini seiring waktu, yang merupakan masalah umum bagi baterai polimer dan jenis lainnya. Penelitian juga melihat kemungkinan memperbesar skala baterai jenis baru ini, "Kita lihat bagaimana jadinya bila baterai ini dibuat dalam skala sangat besar."
Para peneliti menjabarkan hasil terakhir mereka dalam jurnal berjudul 'Nano Letters'.