Indeks
Hidup adalah serangkaian kisah dari pengalaman-pengalaman yang luar biasa. Yang tak pernah berakhir, entah sampai kapan! Hari-hari yang kelam, suatu senja yang sepi, berlalu dan berganti tanpa kita sadari. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tidak tahu berapa lama akan terus berjalan dan bernafas di bumi. Hanya ingin mengekspresikan sebuah rasa yang muncul dengan berjuta sensasi.
1. cucu dari keponakan
Muach... muach...! ku ciumi pipinya yang putih lembut, hidungnya yang mungil. Kucumbu dia dengan rasa sayang, dia bereaksi manja dan menggelikan. ku goda lagi, namun kali ini dia menangis dan aku kerepotan sendiri. Dia pipis. Ugh, menyebalkan. Masa dia tega mengencengiku? Aku berteriak memanggil mama-nya, karena tak pandai mendiamkan bayi yang menangis.
Well, si bayi langsung mencari ASI ibunya dengan spontan. Setelah dipok-pok dan diberi ASI si bayi kemudian tidur kembali. Aku tersenyum tapi terbersit tanya. Bocah kecil yang masih merah itu cucuku, namanya Saila. Kau bisa tebak umurku sekarang?
Nope! Aku masih muda kok. Zaman sekarang itu sudah biasa orang muda dituakan dan yang tua merasa muda.
"Belajar dari sekarang tuh gimana mengurus bayi, masa kamu mau sendiri terus!" cetus lelaki berkumis yang tak lain adalah tetanggaku tetapi masih ada hubungan saudara. Lelaki itu adalah anak dari kakaknya Bapakku. Hmm, aku mulai merasatak nyaman dengan lontaran kalimat seperti itu. Senyum tipis yang berarti kesal pun muncul dengan tekanan gigi yang tertahan.
Para tetangga berdatangan untuk melihat si bocah kecil dengan hobi nangis dan tidur. Aku pun rasanya tak mau menjauh darinya, begitu mungil, menggemaskan, dan ingin selalu kucium hidungnya. "Eh, ada simbah to," kata kakakku. Haiya!! Mbah? keningku mengkerut. Pantas saja sudah ada beberapa helai rambutku yang memutih, ckckckc.
"Cani makan dulu," kata Ibuku. Dari tadi perutku memang sudah keroncongan. Maka beranjaklah aku ke dapur, para tetangga mulai berbisik-bisik, akh... pastinya itu tentangku dilihat dari gelagat mereka yang sesekali melihat kearahku. Hmm, dasar ibu-ibu, aku menggelengkan kepala.
Tempe kering dan rendang telur, ku kunyah dengan kenikmatan rasa yang tak bisa Cymi rasakan. Sebab ia sedang menyusui dan pasca melahirkan. Semoga saja dia bisa senikmat ini bila waktu makannya tiba. Selang beberapa menit piringku telah kosong, kutaruh di meja meski kakakku mengomel.
Aku kembali menghampiri Saila, semua orang memandangku aneh dan haiya ini gara-gara Saila. Kenapa dia lahir begitu cepat? Dengan tenangnya si bocah kecil itu tidur, kadang tersenyum sendiri. dan aku... Cucu? oh, no!
"Cani, akan paman carikan jodoh untukmu," bisik paman Kadir seraya menepuk pundak. Aku menyiptkan mata, berharap bisa berlari dari sini, menghirup udara segar. "Paman baik sekali," jawabku sambil meringis. "Iya dong, masa kamu mau kalah sih!" mata paman berkedip. Statusku terancam! Aku berfikir sejenak, memutar-mutar kedua bola mataku. Wilan! Berjuta kemungkinan sudah menghantuiku, kali ini aku tak punya pilihan untuk tidak memilihnya sebagai calon suamiku. Ops! Ampuni aku melakukan hal ini, Wilan adalah sahabat terbaikku. Tak berapa lama kemudian aku memilih beranjak dari sini dan mencium pipi si mungil Saila yang sudah membuat pikiranku kacau dan yang tak terfikirkan sebelumnya. Makhluk yang masih merah itu menarik hati semua orang untuk menyayanginya. Termasuk aku... fiuh!
masi ada lanjutannya ntar.... ;p
1. cucu dari keponakan
Muach... muach...! ku ciumi pipinya yang putih lembut, hidungnya yang mungil. Kucumbu dia dengan rasa sayang, dia bereaksi manja dan menggelikan. ku goda lagi, namun kali ini dia menangis dan aku kerepotan sendiri. Dia pipis. Ugh, menyebalkan. Masa dia tega mengencengiku? Aku berteriak memanggil mama-nya, karena tak pandai mendiamkan bayi yang menangis.
Well, si bayi langsung mencari ASI ibunya dengan spontan. Setelah dipok-pok dan diberi ASI si bayi kemudian tidur kembali. Aku tersenyum tapi terbersit tanya. Bocah kecil yang masih merah itu cucuku, namanya Saila. Kau bisa tebak umurku sekarang?
Nope! Aku masih muda kok. Zaman sekarang itu sudah biasa orang muda dituakan dan yang tua merasa muda.
"Belajar dari sekarang tuh gimana mengurus bayi, masa kamu mau sendiri terus!" cetus lelaki berkumis yang tak lain adalah tetanggaku tetapi masih ada hubungan saudara. Lelaki itu adalah anak dari kakaknya Bapakku. Hmm, aku mulai merasatak nyaman dengan lontaran kalimat seperti itu. Senyum tipis yang berarti kesal pun muncul dengan tekanan gigi yang tertahan.
Para tetangga berdatangan untuk melihat si bocah kecil dengan hobi nangis dan tidur. Aku pun rasanya tak mau menjauh darinya, begitu mungil, menggemaskan, dan ingin selalu kucium hidungnya. "Eh, ada simbah to," kata kakakku. Haiya!! Mbah? keningku mengkerut. Pantas saja sudah ada beberapa helai rambutku yang memutih, ckckckc.
"Cani makan dulu," kata Ibuku. Dari tadi perutku memang sudah keroncongan. Maka beranjaklah aku ke dapur, para tetangga mulai berbisik-bisik, akh... pastinya itu tentangku dilihat dari gelagat mereka yang sesekali melihat kearahku. Hmm, dasar ibu-ibu, aku menggelengkan kepala.
Tempe kering dan rendang telur, ku kunyah dengan kenikmatan rasa yang tak bisa Cymi rasakan. Sebab ia sedang menyusui dan pasca melahirkan. Semoga saja dia bisa senikmat ini bila waktu makannya tiba. Selang beberapa menit piringku telah kosong, kutaruh di meja meski kakakku mengomel.
Aku kembali menghampiri Saila, semua orang memandangku aneh dan haiya ini gara-gara Saila. Kenapa dia lahir begitu cepat? Dengan tenangnya si bocah kecil itu tidur, kadang tersenyum sendiri. dan aku... Cucu? oh, no!
"Cani, akan paman carikan jodoh untukmu," bisik paman Kadir seraya menepuk pundak. Aku menyiptkan mata, berharap bisa berlari dari sini, menghirup udara segar. "Paman baik sekali," jawabku sambil meringis. "Iya dong, masa kamu mau kalah sih!" mata paman berkedip. Statusku terancam! Aku berfikir sejenak, memutar-mutar kedua bola mataku. Wilan! Berjuta kemungkinan sudah menghantuiku, kali ini aku tak punya pilihan untuk tidak memilihnya sebagai calon suamiku. Ops! Ampuni aku melakukan hal ini, Wilan adalah sahabat terbaikku. Tak berapa lama kemudian aku memilih beranjak dari sini dan mencium pipi si mungil Saila yang sudah membuat pikiranku kacau dan yang tak terfikirkan sebelumnya. Makhluk yang masih merah itu menarik hati semua orang untuk menyayanginya. Termasuk aku... fiuh!
masi ada lanjutannya ntar.... ;p
Terakhir diubah oleh lani tanggal Wed Aug 26, 2009 9:47 am, total 1 kali diubah (Reason for editing : tambah isi)
