21 mutiara
Mata beningnya memandang lepas hamparan sawah yang terlihat jauh di sana. Ia duduk memastikan posisi kamera sakunya dalam keadaan fokus. Dibelakangnya berdiri tegak gunung yang tumbuh oleh berbagai macam tumbuhan termasuk tanaman liar. Di bawah langit biru ini, ia menjepretkan kamera pada salah satu objek langka yang sudah ada sejak dulu dan dijadikan sebagai budaya turun-temurun. Pohon kembar. Pohon penjaga kehijauan dan tempat meminta berkah dari leluhur. Ia berdiri dengan posisi yang meyakinkan sebagai fotografer amatiran. Disekitar pohon kembar itu tak terhitung banyaknya hamparan pohon singkong tumbuh dengan subur.
Ia memasukkan kamera kedalam saku, kemudian ia berjalan mendekat pada posisi pohon kembar. Celana jin's nya kotor dan berlumpur, kaos putih yang ia kenakan berubah warna agak kecoklatan. Dengan nafas yang terengah, susah payah ia sampai dibawah pohon kembar, pohon yang dikeramatkan. Ia duduk merasakan angin yang menyapu keringat. Perlahan nafas dan degupan jantungnya kembali normal. Ia melamun. Angin waktu membawa pikirannya terbang.
Ketika itu langit mendung. Usianya baru dua belas tahun, Ayahnya meninggal karena sakit. Ia begitu cemas karena merasa kehilangan. Kenapa setiap orang harus meninggal? Ayahnya memberinya sebuah gelang berwarna cokelat yang lebih mirip dengan tasbih. Tiap kali melihat gelang itu, ia berurai air mata karena sedih. Ia terpukul. Maka ia memutuskan untuk menyimpannya dalam sebuah kotak dan ditaruh dalam lemari.
Sepuluh tahun berlalu sudah, dalam hening ia berfikir keras. Nyanyian gemerisik daun mengusiknya dalam sebuah tanya yang dulu pernah terucap olehnya. Kenapa dalam kehidupan harus ada sebatang kara? Ia teringat akan gelang peninggalan ayahnya.
Ia berkunjung ke batu nisan, rumput-rumput tumbuh disekitar makam. Ia membersihkan batu nisan, menabur bunga dan menyiramnya lalu berdoa diatas batu nisan. Ia tak sanggup menahan air mata.
Wuz! angin menyentuh pori-porinya, pikirannya kembali dalam pemandangan alam yang menakjubkan. Ia mengeluarkan gelang iitu dari sakunya, warnanya telah memudar. Lebih cerah dan berkilau seperti mutiara. Ia memutar-mutar gelang itu yang berjumlah dua puluh satu butiran. Seperti itulah ia mengingat tentang Ayahnya dan berdoa untuknya. Lewat gelang itu ia berhasil menemukan jawaban kenapa ada sebatang kara di dunia ini. Ia menghembuskan nafas, berdiri pada posisi tegak. Ia harus melnjutkan perjalanan dalam diri sang pengembara yang penuh tanya juga ketidak-pastian.
-lani-
Mata beningnya memandang lepas hamparan sawah yang terlihat jauh di sana. Ia duduk memastikan posisi kamera sakunya dalam keadaan fokus. Dibelakangnya berdiri tegak gunung yang tumbuh oleh berbagai macam tumbuhan termasuk tanaman liar. Di bawah langit biru ini, ia menjepretkan kamera pada salah satu objek langka yang sudah ada sejak dulu dan dijadikan sebagai budaya turun-temurun. Pohon kembar. Pohon penjaga kehijauan dan tempat meminta berkah dari leluhur. Ia berdiri dengan posisi yang meyakinkan sebagai fotografer amatiran. Disekitar pohon kembar itu tak terhitung banyaknya hamparan pohon singkong tumbuh dengan subur.
Ia memasukkan kamera kedalam saku, kemudian ia berjalan mendekat pada posisi pohon kembar. Celana jin's nya kotor dan berlumpur, kaos putih yang ia kenakan berubah warna agak kecoklatan. Dengan nafas yang terengah, susah payah ia sampai dibawah pohon kembar, pohon yang dikeramatkan. Ia duduk merasakan angin yang menyapu keringat. Perlahan nafas dan degupan jantungnya kembali normal. Ia melamun. Angin waktu membawa pikirannya terbang.
Ketika itu langit mendung. Usianya baru dua belas tahun, Ayahnya meninggal karena sakit. Ia begitu cemas karena merasa kehilangan. Kenapa setiap orang harus meninggal? Ayahnya memberinya sebuah gelang berwarna cokelat yang lebih mirip dengan tasbih. Tiap kali melihat gelang itu, ia berurai air mata karena sedih. Ia terpukul. Maka ia memutuskan untuk menyimpannya dalam sebuah kotak dan ditaruh dalam lemari.
Sepuluh tahun berlalu sudah, dalam hening ia berfikir keras. Nyanyian gemerisik daun mengusiknya dalam sebuah tanya yang dulu pernah terucap olehnya. Kenapa dalam kehidupan harus ada sebatang kara? Ia teringat akan gelang peninggalan ayahnya.
Ia berkunjung ke batu nisan, rumput-rumput tumbuh disekitar makam. Ia membersihkan batu nisan, menabur bunga dan menyiramnya lalu berdoa diatas batu nisan. Ia tak sanggup menahan air mata.
Wuz! angin menyentuh pori-porinya, pikirannya kembali dalam pemandangan alam yang menakjubkan. Ia mengeluarkan gelang iitu dari sakunya, warnanya telah memudar. Lebih cerah dan berkilau seperti mutiara. Ia memutar-mutar gelang itu yang berjumlah dua puluh satu butiran. Seperti itulah ia mengingat tentang Ayahnya dan berdoa untuknya. Lewat gelang itu ia berhasil menemukan jawaban kenapa ada sebatang kara di dunia ini. Ia menghembuskan nafas, berdiri pada posisi tegak. Ia harus melnjutkan perjalanan dalam diri sang pengembara yang penuh tanya juga ketidak-pastian.
-lani-